Sabtu, 26 September 2009

UPAYA PRESIDEN LEMAHKAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Sabtu, 26 September 2009 | 03:01 WIB

Belum hilang kebingungan masyarakat atas logika hukum yang membuat dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Perubahan atas UU No 30/2002 tentang KPK.

Perppu itu memunculkan kekagetan baru, bukan hanya karena unsur kegentingan memaksa yang menjadi dasarnya masih dapat diperdebatkan. Namun, juga karena perppu itu memungkinkan

Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK jika pimpinan komisi itu kurang dari tiga orang. Sebuah kebijakan yang dikhawatirkan berpotensi mengganggu independensi dan integritas KPK yang kini unsur pimpinannya tinggal dua orang, yaitu M Jasin dan Haryono Umar. Tiga unsur pimpinan lainnya, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar, sudah diberhentikan sementara.

Penetapan status tersangka terhadap Chandra dan Bibit pada 15 September 2009, yang segera diikuti dengan keluarnya Perppu No 4/2009 pada 23 September atau delapan hari kemudian, seperti disampaikan Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia, juga makin mengentalkan kecurigaan bahwa kedua hal itu merupakan bagian dari paket kebijakan untuk mengerdilkan KPK dan pemberantasan korupsi secara umum.

Namun, berbagai polemik dan kecurigaan itu seperti langsung kehilangan energi ketika Presiden membentuk Tim 5, yaitu tim yang bertugas memberikan rekomendasi calon anggota sementara pimpinan KPK.

Wacana di masyarakat seperti langsung dialihkan pada penentuan calon untuk mengisi jabatan tiga unsur pimpinan KPK yang sekarang kosong.

Bahkan, pimpinan KPK yang tersisa juga langsung menyatakan mendukung perppu itu setelah bertemu dengan anggota Tim 5 dan memberikan masukan tentang kriteria calon anggota sementara pimpinan KPK.

Ini terjadi terutama karena tepatnya memilih anggota tim yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS itu. Sebagian dari anggota tim tersebut adalah mereka yang dekat dengan penggiat gerakan antikorupsi.

Misalnya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, dikenal sebagai tokoh gerakan masyarakat sipil, terutama di bidang hukum dan hak asasi manusia. Taufiequrachman Ruki tidak hanya Ketua KPK periode 2003-2007, tetapi juga tokoh penting yang meletakkan fondasi berdirinya komisi itu. Todung Mulya Lubis dikenal sebagai salah satu tokoh yang giat memberantas korupsi di Indonesia.

Nama-nama itu membuat publik seperti tidak memiliki cukup celah dan keberanian untuk mengkritisi Tim 5 serta sikap yang mereka ambil.

Padahal, ada sejumlah catatan di Tim 5, misalnya sebagian anggota tim itu adalah orang dekat Presiden Yudhoyono. Isu tebang pilih sangat kuat melekat di KPK saat Taufiequrachman Ruki memimpin komisi itu. Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta juga menjadi salah satu wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor.

Upaya Tim 5 memilih calon yang direkomendasikan untuk mengisi tiga jabatan unsur pimpinan KPK diperkirakan juga akan semakin mulus dari kritik masyarakat jika mereka memilih calon yang tidak memiliki banyak catatan negatif di masyarakat. Calon-calon itu misalnya mantan Kepala Polri Jenderal (Purn) Sutanto dan mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Pada saat yang sama, calon- calon itu juga akan relatif bebas dari keberatan masyarakat ketika menduduki jabatan baru mereka di KPK. Jika itu semua terjadi, hanya menambah kesadaran bahwa lawan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya banyak, kuat, dan bermodal besar, tetapi juga amat cerdas, terutama dalam memainkan opini publik lewat desain yang (nyaris) sempurna. (NWO)

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar